Minggu, 22 Mei 2011

Cinta Buat Agatha part 1 (Sebuah Cerpen yang Kubuat di Masa SMA dulu...)

Sakit hati Agatha tampaknya belum bisa berhenti. Baru kemarin dia diputuskan oleh pacarnya, Yovan, Agatha masih harus merasakan sakit hati lagi melihat apa yang terjadi pulang sekolah tadi. Masih lekat di ingatannya peristiwa yang terjadi siang tadi. Yovan bergandengan mesra dengan anak kelas X bernama Rara! Cewek yang selama ini Yovan akui hanya adik sepupunya! Pulang sekolah, di dalam kamar, Agatha menumpahkan segala galau dalam benaknya dengan menangis sejadi-jadinya di depan Gavin, Dewa, dan Kyla.
“Dia udah keterlaluan banget bohongnya!!!” kata Agatha di sela-sela isak tangisnya.
“Udahlah, Tha, nggak usah terlalu kamu fikirkan. Lupakan aja cowok brengsek kayak si Yovan itu!” kata Kyla cemas melihat sahabatnya histeris seperti itu. Ia takut Agatha melakukan hal-hal aneh lagi, sama seperti dulu.
“Tapi ini udah nggak bisa dibiarin lagi, La! Masak baru kemarin dia putus sama Agatha, dia udah pacaran lagi sama orang lain. Malah sama cewek yang dia akuin sebagai adik sepupunya!” sahut Gavin penuh amarah.
“Tapi apa kalian semua udah yakin, kalo si Yovan emang pacaran sama si anak kelas X itu?” tanya Kyla memandang Gavin dan Dewa bergantian.
“Udah kelihatan jelaskan, kamu sendiri juga tadi lihat, kan, bagaimana gelagat mereka berdua? Jangan mungkir, deh, La. Kamu lihat, kan, secara jelas dan gamblang, kan?” kata Gavin masih saja marah-marah.
“Wa, yang perlu kamu lakukan sekarang adalah, cari tahu apa betul mereka berdua pacaran atau itu cuman akal-akalan Yovan aja. Bagaimana?” Usul Kyla meminta persetujuan Gavin.
“Terserah! Yang aku tau, tanganku pengen banget mendarat di pipi cowok brengsek bernama Yovan itu!” Gavin berkata dengan emosi sambil menggepalkan tanganya. Mukanya penuh kebencian mendalam pada Yovan.
“Jangan!” seru Agatha mendadak.
“Kenapa? Kamu masih sayang, sama dia? Dengan segala yang udah dia lakukan ke kamu?” tanya Gavin dingin.
“Kalau kamu pikir semua bisa selesai dengan adu fisik, kamu salah, Gavin! Yang ada malah kamu dapat masalah. Udahlah, pokoknya jangan pernah coba-coba pake adu fisik.” Kata Dewa menatap Gavin kesal.
“Udah jam 4 sore, aku harus ngantar Bundaku ke rumah Nenekku. Insya Allah, aku akan berusaha mencari tahu hal itu. Yovan nggak tau kalo aku temenan baik sama Agatha. Dia pikir aku cuman teman se-almamaternya Agatha.” Kata Dewa beranjak dari tempat duduknya di dekat jendela.
“Tha, aku juga harus pulang. Wa, aku boleh nebeng nggak sampai rumah?” kata Kyla juga ikutan bangkit dari duduknya.
“Boleh dong. Lagian satu jalur. Yuk!” kata Dewa yang udah siap dengan tas se-gede kingkongnya.
“Tha, Vin, aku sama Dewa pamit pulang, ya? Assalamualaikum!” pamit Kyla pada Agatha yang masih meringkuk di atas tempat tidurnya.
“Waalaikumsalam.” Jawab Agatha dan Gavin berbarengan.
“Makasih banyak, yah. Sorry aku udah ngerepotin kalian semua...” kata Agatha tersenyum lemah.
“Itulah gunanya sahabat.” Kata Gavin sambil tersenyum manis.
“Makasih banget, ya, Gavin? Thanks banget kamu udah perhatian banget sama aku. You’re the best, deh!” kata Agatha mengacak rambut Gavin pelan.
“Thanks, kamu udah bilang aku the best.” Jawab Gavin kalem.
Hening beberapa saat. Gavin lebih memilih membuka halaman demi halaman majalah gitar Agatha yang berserakan di lantai. Tiba-tiba Gavin langsung menodong sebuah pertanyaan yang Agatha yakin cepat atau lambat bakal terlontar dari mulut Gavin.
“Tha, gimana kronologisnya kamu bisa putus sama si Yovan? Tapi, kalo kamu ogah ngejawab, nggak apa-apa, kok. Aku maklum.” Gavin memandang Agatha yang terpekur menatap dinding.
“Nggak, aku bakal jawab, kok. Karena aku tahu, kamu pasti bakal nanya langsung ke aku.”
“Sorry, aku nggak ada di TKP kemarin. Aku telat datang, habis latihan”
“Paginya, sebelum aku berangkat sekolah, Yovan ngeSMS aku. Katanya ada yang pengen dia bicarain sama aku. Akunya sih ada firasat nggak enak, tapi, ya udah. Aku buru-buru aja ke sekolah. Pas sampai di sekolah, dia ngajak aku ke dekat ruangan TIK dan...” penjelasan Agatha tersendat. Tenggorokannya terlalu lemah untuk mengatakannya.
“Dia minta putus?” sambar Gavin dingin.
“Dia nggak langsung minta putus, cuman aku yang nerka dengan bilang ‘kenapa? Kamu pengen kita berdua putus?’ dan dia ngangguk. Dan kamu tau apa alasannya? Katanya dia dilarang sama nyokapnya buat pacaran karena nilai pelajarannya jadi anjlok dan kata Yovan, sebenarnya udah lama dia pengen mutusin aku. Tapi katanya dia terlalu sayang sama aku jadi nggak tega. Aku ninggalin dia sebelum dia ngejelasin alasan-alasan yang lama-lama makin nggak masuk akal itu.” Kata Agatha pelan. Butiran air mata kembali menetes dari matanya.
Shit! Sialan banget, tuh cowok! Huh, tanganku jadi nggak sabar ngehajar mukanya yang menyebalkan itu. Lihat aja ntar, berani dia macam-macam sama kamu, bakalan aku hajar tu orang.” Kata Gavin berapi-api.
“Udahlah, Gavin. Jangan memperkeruh suasana. Kamu mau janji sama aku?” Agatha menatap Gavin cemas. Ia tahu, apabila dipancing emosinya, Gavin bakalan jadi liar. Menghajar orang membabi buta. Tristan, senior taekwondonya habis dia bikin babak belur gara-gara ngebelain Agatha..
“Yang nggak habis aku pikir, katanya dia dilarang pacaran, nah, sekarang? Pacaran sama sepupunya, lagi!” Gavin masih emosi dan yang jadi sasaran kemarahannya adalah bantal guling Agatha yang ia tinju berkali-kali.
“Aku nggak ngerti maksud Rara apa ngasih aku boneka lumba-lumba, coba? Makanya pas lihat kejadian tadi, boneka dari adik sepupunya tersayang itu, aku lempar ke mukanya terus aku lari sambil nangis.” Kata Agatha lemah. Ia memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan air matanya. Tapi, Gavin tahu kalo Agatha sedang menagis.
“Udahlah, Tha, jangan nangis. Aku harap kamu bisa dengan cepat ngelupain cowok brengsek itu. Dan satu permohonan aku, jangan mogok makan dan begadang cuma gara-gara hal ini. Ingat Tha, Yovan nggak bakalan ngerasain apa yang kamu rasain. Memangnya kalo kamu kelaparan karena nggak makan-makan dan matamu bengkak karena kurang tidur, dia mau balik lagi jadi pacar kamu. Jawabannya NGGAK, Agatha!” Gavin bangkit dari duduknya dan kembali menyeberangi ruangan untuk minum.
“Aku nggak terlalu bodoh untuk ngelakuin hal seperti itu lagi, Vin. Paling tidak untuk pembohong dan pengecut seperti Yovan.” Ujar Agatha menatap Gavin.
Gavin menatap Agatha dengan sebuah pandangan yang sangat sulit untuk ditebak. Pandangan dalam khas Gavin. Dalam dan tajam. Tapi, ada satu yang beda, di tatapan yang dalam dan tajam itu, tampak berjuta makna yang agak sulit untuk ditebak. Pandangan penuh harap, hasrat Gavin yang paling dalam.
“Kamu kok, mandang aku kayak gitu? Aku kelihatan jelek banget ya, abis nangis?” tanya Agatha menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Nggak kok, kamu tetap cantik.” Gavin berkata lembut dan berusaha membuat Agatha menghapus rasa kekinya.
“Terus ngapain kamu mandang aku dengan cara seperti itu?” Agatha mengenggam jari-jari Gavin..
“Nggak ada apa-apa!” elak Gavin dan memalingkan wajahnya yang memerah.
***
Dua minggu kemudian...
“Tha, kamu tau nggak, si Yovan pacaran sama adik sepupunya sendiri?” serbu Aurelia saat Agatha berjalan sendirian di koridor.
“Udah tau dari kemarin-kemarin” jawab Agatha ringan bin cuek.
“Lho, kamu kok nggak marah? Kamu kan pacarnya?” Aurelia kembali bertanya.
“Siapa bilang aku masih mau pacaran sama cowok kayak si Yovan? Banyak bokisnya gitu? Udah gitu, biar adik sendiri diembat juga jadi pacarnya.” Jawab Agatha santai dan dengan cepat berusaha menghindar dari Aurelia yang tampaknya akan kembali melontarkan pertanyaan.
“Ssst... Agatha! Sini!” panggil seseorang dari balik pintu lab kimia.
“Fredo? Ada apa?” tanya Agatha heran.
Bingung aja, seorang Fredo, cowok terganteng kedua di sekolah setelah Gavin (tapi Gavin malah menolak mentah-mentah gelar yang diberikan anak Ma-Dhink di buletin sekolah untuknya itu) memanggilnya.
“Bisa kita bicara berdua di dalam?” bisik Fredo.
“Ada apa? Kayaknya rahasia banget?” tanya Agatha kebingungan.
“Bisa, nggak?” ulang Fredo.
“He-eh,” jawab Agatha singkat.
“Tha, katanya kamu udah putus, ya, dari si Yovan?” tanya Fredo hati-hati.
“Aku kira ada apa. Iya, aku udah putus dari dia. Maaf, Do, kalo kamu manggil aku ke sini cuma buat ngebahas aku sama Yovan, sorry, aku nggak punya waktu.” Kata Agatha berjalan menuju pintu.
“Eh, eh, aduh!!! Aku manggil kamu ke sini, bukan untuk nanya-nanya soal kamu sama si Yovan itu. Tapi.....” perkataan Fredo menggantung.
“Tapi apa?” sambar Agatha dingin.
“Aku suka sama kamu. Dulu, saat aku pengen ngungkapin perasaanku ke kamu, aku malah keduluan si Yovan. Dan sekarang, saat kamu udah putus dari Yovan, aku berharap mendapat kesempatan untuk jadi cowok kamu. Kamu mau jadi pacarku, Agatha?” Fredo menatap Agatha dalam-dalam. Kata-kata Fredo barusan membuat Agatha kaget setengah mati. Cowok tercakep kedua seantero sekolah nembak seorang Agatha yang ‘biasa’ aja ini???
“Maaf, aku baru aja putus dari cowokku. Sorry, ya, Fredo? Aku harap kamu bisa ngerti dengan perasaanku saat ini.” Kata Agatha lirih sambil menunduk ke bawah, menatap lantai. Ia tak ingin melihat gurat kekecewaan Fredo.
“Aku ngerti, kok. Dari kamu aku belajar, cinta tidak dilihat dari bagian luar seseorang. Banyak cewek yang nyatain cinta ke aku cuma karena aku cakep dan populer. Tapi, seharusnya yang harus dilihat itu adalah dari sini, dari hati” tunjuknya ke arah dadanya.
“Sekali lagi, sorry, ya?” kali ini Agatha berani memandang wajah Fredo. Yang ternyata justru tersenyum.
“Kamu ngasih aku pelajaran yang begitu berarti, Agatha. Dan sekarang, aku pengen nanya, kalo emang aku nggak boleh jadi pacar kamu, jadi teman boleh nggak?” Fredo mengulurkan tangannya.
“Tentu aja, aku mau!” jawab Agatha tersenyum manis dan menyambut tangan Fredo yang terulur padanya.
“Thanks, Tha.”
“Sama-sama, Do!” balas Agatha.
“Tapi hati-hati aja, Tha. Seorang teman atau sahabat bisa aja berubah status jadi pacar, lho, Tha!” bisik Fredo di telinga Agatha sebelum ngacir dari lab.
“Ngaco!” seru Agatha mengejar Fredo yang ketawa ngakak di luar lab.
Agatha kembali berjalan sendirian lagi di koridor. Soalnya sang anjing helder yang biasanya jadi bodyguard dan mengawalnya kemanapun ia pergi (Gavin, maksudnya) sedang latihan Taekwondo di ruang olahraga untuk persiapan Kejuaraan Nasional. Sedangkan Kyla dan Dewa lagi sibuk-sibuknya dengan Pameran Fotografi ekstrakurikuler mereka 3 hari lagi.
“Met siang, Kak Agatha!” sapa seorang cowok tinggi bin cakep yang ternyata adik kelasnya.
“Eh, Erik! Met siang balik. Gimana nih, kabar anak kelas XI baru? Udah dapat gacoan anak kelas X, belom? Setiap tahun kayaknya jadi ritual wajib seluruh murid cowok kelas XI dan XII di sekolah kita ini, buat dapat pacar anak kelas X. Lagi pula, tahun ini banyak yang cantik-cantik, kan?” goda Agatha yang ternyata berhasil bikin Erik keki.
“Ngaco!” jawab Erik.
“Apanya yang ngaco? Emang kenyataannya kayak gitu, kan?”
“Aku nggak sama kayak murid cowok laen, Kak. Aku udah punya cewek taksiran sejak aku kelas X dulu. Cuma aku nggak punya kesempatan... dan keberanian, sebenarnya, untuk mengutarakan perasaanku ke dia. Aku harus menanti selama berbulan-bulan untuk mendapatkan kesempatan ini.” Tukas Erik pelan.
“Cewek taksiran? Sejak kelas X? Aduh siapa tuh, cewek yang bikin seorang Erik rela melakukan penantian?” Agatha kembali sukses menggoda Erik.
“Kak Agatha bisa aja. Dia tuh cewek yang sempurna, paling tidak untuk aku. Dia cewek yang selalu bikin aku merasa nyaman bila di dekatnya. Dia cewek dewasa meskipun kadang-kadang dia menunjukkan sikap childish di depanku...” Erik menatap Agatha dalam-dalam. Seolah-olah cewek yang ia puja-puja itu adalah Agatha.
“Siapa sih? Kasih tau aku dong? Aku kan orang yang dekat ma kamu. Masak kamu nggak mau kasih tau ke aku sih?” Agatha  mulai mengeluarkan jurus rengekannya.
“Jangan, ah. Malu!” kata Erik pelan.
“Kasih tau ke aku, dong! Please!!! Aku ngak akan kasih tau ke orang lain, deh! Please, Erik kan, baik...” Agatha kembali merengek. Kali ini malah pakai acara narik-narik lengan baju Erik.
“Jangan, deh!” ulang Erik dengan wajah memerah.
“Yah, Erik, mah gitu!” kata Agatha cemberut dan berhenti menarik lengan baju Erik.
“Aduh, Kak Agatha jangan ngambek, dong! Iyaaaaa, tapi aku nggak bisa kasih tau sekarang. Kalo emang mau tau, datang aja ke kolam renang sekolah ntar pulang sekolah kalo emang penasaran banget.” Erik akhirnya nyerah.
“Kok nggak dikasih tau sekarang aja?”
“Kalo dikasih tau sekarang, nggak bakalan ada seru dan suprisenya. Aku kasih bocoran, deh. Ntar, aku bakalan nembak dia. Mudah-mudahan aja ntar pas bubaran dia mau datang.”
“OK, deh kalo gitu. Aku pasti bakalan datang, bye!” seru Agatha riang lalu meninggalkan Erik yang terdiam lalu menghela nafas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar